Suaranya selalu paling vokal kala berbicara soal karut-marut pertambangan di Kaltim. Merah Johansyah, di bawah bendera Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, intens memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup Bumi Etam.
RIZKI HADID, Samarinda
KARIER aktivis Merah bermula kala menjadi ketua BEM IAIN Samarinda, 2005. Selain itu, dia aktif pula dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Setelah berkuliah 2001–2008, dia pun melanjutkan karier dengan berprofesi sebagai pengacara muda di kantor advokat Balikpapan.
Suatu waktu di Kota Beriman, dia bertemu dengan Kahar Albahri yang saat itu adalah dinamisator Jatam Kaltim. Dari pertemuan itu, jiwa aktivis Merah kembali bergelora. Dia pun memilih bergabung ke Jatam.
Kasus pertama yang dia soroti saat bergabung di Jatam yakni menghitung kerugian banjir lumpur di Rimbawan, Tanah Merah, Samarinda. “Banyak pemilik kolam ikan yang dirugikan karena aktivitas perusahaan tambang batu bara di sana,” kenang dia.
Dari situ, wawasan dia tentang geliat industri emas hitam tidak bisa cocok dengan sektor lain. Baik sektor perikanan, pertanian, apalagi pariwisata. Dia pun memberikan perhatian lebih kepada pertanian. Menurut dia, orang tua itu ada dua. Yakni orangtua biologis, dan para petani. Dia menambahkan, mahasiswa harus berbakti kepada petani. “Saya hitung berapa modal dan untung dari petani. Dari situ saya sadar, tugas mahasiswa tak boleh hanya duduk di kampus,” ujar dia.
Merah menjelaskan, kerusakan karena pertambangan bermula sejak otonomi daerah. Momen itu jadi ajang kepala daerah mengobral lahan izin usaha pertambangan. Kian menjadi jika sudah memasuki momen pemilihan kepala daerah. Alasannya, batu bara adalah penyokong pembangunan ekonomi negara.
Dia menegaskan, itu merupakan logika yang menyesatkan. Bisnis batu bara, terang dia, adalah industri yang rapuh, karena berasal dari sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Jika hendak habis, dampaknya baru akan terlihat. Mulai kerusakan alam hingga derasnya aliran pegawai yang dirumahkan karena kehilangan pekerjaan. “Belakangan malah menyebabkan banyak anak mati di lubang tambang,” ungkap dia.
Jelas dia, sebelum kenal eksploitasi batu bara dan hutan, nama Indonesia sudah lebih dulu tersohor namanya karena pertanian dan perikanan. “Bangsa ini bukan besar dari tambang. Itu belakangan. Namun, tambang dihidupkan lagi saat otonomi,” jelas dia.
Dia menyampaikan, pertambangan tak boleh dijadikan panglima ekonomi. Mestinya ditempatkan sebagai last resources. Artinya, maksimalkan dulu sektor yang lain. Sebab, kata dia, sudah banyak negara mencontohkan kemajuan tanpa mengandalkan tambang.
Pria yang kini merupakan koordinator Jatam Nasional (ketua Jatam pusat) itu menjelaskan, menggeluti bidang yang acap kontra dengan pemangku kepentingan bukan mudah. Jadi, dinamisator Jatam Kaltim pada 2014–2016, intimidasi dari berbagai pihak bukan hal baru baginya.
Tawaran untuk tutup mulut dengan sodoran uang miliaran rupiah, atau ancaman lewat pesan pendek, sudah pernah dia temui. Teranyar, ketika sekretariat Jatam disambangi sejumlah orang yang memamerkan senjata. “Itu risiko perjuangan. Tapi kami dokumentasikan sebagai bukti hukum. Sebagai manusia biasa pasti takut. Tapi, kami berani berkat doa dari petani dan nelayan tertindas yang kami bela,” tegas dia.
Sebagai organisasi non-pemerintah, pertanyaan yang paling banyak muncul adalah, bagaimana Jatam menghidupi diri? Merah lantas menjelaskan, mereka memiliki beberapa sumber pendanaan. Mulai uang pribadi, hingga unit usaha milik Jatam, seperti gerai merchandise, peralatan perkemahan, buku, kedai kopi, terminal benih. Ada pula donasi dari alumnus Jatam se-Indonesia.
Memimpin Jatam skala nasional, saat ini Merah tengah berfokus melakukan perlawanan terhadap aktivitas pertambangan oleh Freeport di Papua. Kata dia, pemerintah pusat menerbitkan PP 1/2014 tentang relaksasi ekspor konsentrat. Hal itu menyebabkan Freeport diuntungkan Rp 3.500 triliun hanya dalam dua tahun. “Pemerintah dan DPR RI juga tutup mata terhadap hal ini,” ulas dia. (*/ndy/k8)
Artikel ini pernah terbit di Kaltim Post. Silakan berlangganan Kaltim Post