Perangi Korupsi dengan Transparansi

Oleh: Rizki Hadid, S.H.

MEMBERANTAS tindak pidana korupsi seakan menjadi perkara paling rumit di negeri ini. Mati satu, tumbuh seribu. Praktik korupsi tumbuh tali-menali di Bumi Pertiwi. Saking banyaknya, sebagian masyarakat jadi pesimistis lalu menganggap korupsi seolah lumrah terjadi.

Padahal, untuk memberangus korupsi dibutuhkan sikap konsistensi masyarakat mengawal aksi para penegak hukum membongkar kasus. Selain pidana penjara, koruptor patut mendapat sanksi moral masyarakat agar efek jera tercapai.

Di Jepang, perbuatan korupsi dianggap sangat memalukan. Bahkan, menyebabkan harakiri atau bunuh diri. Di Tiongkok, ada pejabat negara yang menyediakan peti mati untuk diri sendiri bila terbukti korupsi. Di Indonesia, pelaku justru tersenyum sambil melambaikan tangan.

Barangkali ia terbayang bisa pelesiran ala Gayus Tambunan. Penegakan hukum di Tanah Air memang tak pandang bulu. Seorang nenek yang mencuri buah saja bisa diperiksa di meja hijau. Tapi, penegak hukum harus membuktikan bahwa tak sekadar membidik kasus-kasus kecil.

Tak lama setelah Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan sejumlah kepala daerah, kapolda, dan kajati (kepala kejaksaan tinggi) se-Indonesia, Senin (24/8). Dari Istana Bogor itulah lahir lima instruksi Presiden terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Salah satu poinnya adalah tidak mudah memidanakan kebijakan keuangan kepala daerah. Bahwa, lebih mengutamakan pengembalian kerugian negara dibandingkan penjara. Kalaupun dipidanakan, harus ada unsur mens rea atau niat jahat pelaku atas kerugian negara tersebut.

Langkah itu menuai pro-kontra di masyarakat, terutama di kalangan praktisi hukum maupun penggiat antikorupsi. Poin instruksi lain, Jokowi berharap, aparat tidak mengekspos tersangka sebelum masuk tahap penuntutan. “Jangan karena euforia, tuntutan publik,” bunyi poin terakhir instruksi Presiden itu.

Sekali lagi, hal itu menuai kontroversi. Ya, sekontroversi bila sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk Setya Novanto digelar tertutup atas perkara “papa minta saham”. Adalah wajar bila masyarakat ingin mengetahui siapa pelakunya, apa motifnya, dan bagaimana tindakan tegas negara terhadap para pengerat uang rakyat itu.

Sebab, yang diperiksa atas sangkaan korupsi adalah pejabat publik yang dibiayai dari duit rakyat tak sedikit. Di pundak para pejabat yang disumpah setia melayani rakyat itulah masa depan bangsa digantungkan. Apa salah jika rakyat ingin tahu?

Menurut saya, justru bagus bila banyak berita kasus korupsi bermunculan. Itu tandanya, ada upaya polisi dan jaksa memerangi pidana merugikan negara itu. Bayangkan jika kasus korupsi tidak diekspos, kita cuma bisa bingung kenapa ekonomi dan pembangunan memburuk, tanpa sadar ternyata ada orang-orang tertentu yang diam-diam mencurangi negara secara masif.

Instruksi Jokowi itu ditafsirkan berbeda di Kaltim. Ada aparat di kota tertentu yang mengikuti nuraninya, bahwa penegakan hukum mesti dilaksanakan secara transparan di depan mata masyarakat. Namun, ada pula aparat di kota lainnya yang cemas atas amaran presiden itu. Dalihnya, menerapkan asas praduga tak bersalah.

Saya teringat pada ucapan seorang hakim di sebuah seminar hukum di Samarinda, belum lama ini. Pengadil itu menjelaskan, dalam konteks tertentu, polisi dan jaksa tak mesti menerapkan praduga tak bersalah. Sebab, bila asas itu dicengkeram terlampau erat, tak ada satu pun pasal yang bisa dialamatkan, lantaran berasumsi calon tersangka tak bersalah.

“Polisi dan jaksa memang menganggap semua tersangka bersalah, makanya tersangka bisa ditangkap, ditahan, dan dibawa ke pengadilan. Praduga tak bersalah itu untuk hakim,” tegas dia, kala itu.

Pada praktiknya, korupsi berlangsung di tempat “gelap” yang tak terpantau masyarakat. Menurut saya, informasi soal modus perkara dan kerugian negara patut disampaikan ke masyarakat beserta perkembangannya secara periodik. Lagi pula, misi luhur dari instruksi Jokowi itu agar tak memunculkan tersangka sebelum penuntutan.

Aparat tak perlu khawatir. Pers sebagai media profesional menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan berimbang. Dalam menjalankan tugas, jurnalis dilindungi undang-undang. Koran sangat mengetahui batasan-batasan dalam mengolah berita.

Pada era teknologi saat ini, kabar karut-marut negeri ini bertebaran di mana-mana, entah berupa fakta atau gosip semata. Coba tanya ke masyarakat secara acak, bagaimana curahan hati mereka tentang kinerja penegak hukum selama ini. Nah, untuk itulah pers menyediakan ruang bagi aparat untuk menjelaskan secara rinci.

Sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat soal kemungkinan adanya “intervensi” pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Di kedua tahap itu pula yang sangat menentukan baik buruknya penegakan hukum di Indonesia.

Karena produk BAP (berita acara pemeriksaan) dan penyidikan tahap akhir menjadi pedoman majelis hakim beracara. Kalau bersih, kenapa risih? Dengan momentum Hari Antikorupsi pada 9 Desember ini, ayo… perangi korupsi dengan transparansi. (kri/k8)

Artikel ini pernah terbit di koran Kaltim Post. Silakan berlangganan e-Paper Kaltim Post

http://m.kaltim.prokal.co/read/news/251900-perangi-korupsi-dengan-transparansi.html

Scroll to Top