Oleh: Rizki Hadid, S.H.
“Lokasi, lokasi, dan lokasi” merupakan prinsip pakem bagi pebisnis properti. Membangun ruko atau perumahan maunya selalu di tengah kota dan di pinggir jalan. Taktik bisnis itu dipatahkan oleh Ciputra. Pengusaha kelas kakap yang kini berusia senja itu tidak memegang harga mati soal lokasi. Buktinya, kerap kali dia membangun perumahan di lokasi yang tak diprediksi developer lain.
Selain mendapatkan harga lahan yang lebih terjangkau lantaran bukan di lokasi yang jadi rebutan, membangun bisnis di lokasi yang tak terlampau menarik tersebut merupakan bukti kepiawaian Ciputra meracik bisnis. Dia tidak terseret pada arus ekonomi yang berputar deras di tengah kota, tapi Ciputra justru membangun arus sendiri agar konsumen tersedot ke dalam kerajaan bisnisnya.
Permasalahan ini kerap jadi kendala bagi para pengusaha. Misalnya, tidak ingin memulai bisnis jika tidak dapat di pinggir jalan tengah kota. Padahal, tak sedikit kita temukan usaha yang gulung tikar di lokasi strategis tersebut. Memang banyak faktor mengapa bisnis tidak berkembang meski di lokasi bagus. Namun hal ini membuktikan lokasi bukanlah segalanya. Ketika produk yang kita tawarkan memiliki daya tarik yang sangat kuat, di pinggir kota sekalipun bakal dikejar konsumen. Dalam bisnis tertentu, teknologi internet sangat membantu bagi yang berada di lokasi tidak strategis. Bahkan ada juga yang tidak punya toko sama sekali. Hanya bermain di dunia maya.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi Museum Angkut di Batu, Malang, Jawa Timur. Dari lokasi parkir, kita sudah disambut udara segar dan pegunungan indah. Harga tiket masuk Rp 100 ribu per orang. Membawa kamera dikenakan biaya tambahan Rp 30 ribu. Angka ini terbilang tidak murah bagi penduduk Jawa Timur. Saya berkunjung Kamis siang, yang notabene bukan akhir pekan. Pengunjung di sana begitu padat. Pastinya meningkat pesat pada peak season.
Museum seluas sekitar 4 hektare itu menyuguhkan berbagai alat transportasi dunia dari berbagai generasi. Menurut saya, daya tarik museum ini adalah tidak melulu menyajikan koleksi angkutan. Tapi juga menampilkan nilai tambah seperti replika tokoh, bangunan, dan budaya dari beberapa negara. Nyaris tiada henti-hentinya pengunjung berfoto di setiap koleksi. Mata dan hati benar-benar terhibur dengan sajian yang disuguhkan.
Destinasi wisata kelas premium seperti ini mesti ada di Kaltim. Menggantungkan nasib pada batu bara dan migas membuat perekonomian Benua Etam berusia pendek dan sulit diprediksi. Sektor pariwisata merupakan salah satu jalan menyelamatkan ekonomi masa depan Kaltim ketika sudah tak mengandalkan emas hitam. Museum Angkut yang semenarik itu akan terus ramai pengunjung. Apalagi jika selalu berinovasi. Pemasukan wahana wisata ini bukanlah main-main.
Membangun destinasi wisata seperti itu bukan tidak mungkin bagi Kaltim. Daerah kita yang jauh lebih tajir dari Batu pasti bisa membangun yang lebih fenomenal. Soal lokasi, tentu Benua Etam masih sangat luas untuk dibangun sarana hiburan yang menyumbangkan penghasilan asli daerah (PAD).
Kembali pada teori Ciputra, tak mesti dibangun di tengah kota yang akhirnya berujung drama. Bisa saja dibangun di lahan eks tambang atau pinggiran kota. Museum Angkut yang ada di Batu itu tentu jauh dari pusat kota Malang. Jauh pula dari Bandara Juanda Surabaya. Namun, magnetnya yang begitu kuat menarik pengunjung dari berbagai daerah rela merogoh kocek lebih dalam.
Menurut saya, ada berbagai alternatif lokasi pengembangan destinasi wisata Kaltim. Pertama, dibangun di Mahakam Ulu (Mahulu). Kondisi alam di perbatasan negara itu tak kalah asri dari Batu. Banyak sekali yang bisa diolah di Mahulu. Mulai dari arung jeram, wisata batu dinding, outbond, paralayang, hingga budaya adat dayak. Bisa juga membangun museum perbatasan. Batas paling ujung Indonesia itu terlupakan. Patok batas saja sudah terpendam tanah.
Penjelajah seringkali menggelar upacara bendera setiap 17 Agustus. Bakal menarik bila ada museum perbatasan yang memuat sejarah kemerdekaan di sana. Wisata patriotik itu dirangkai dengan wisata batu dinding dan arung jeram. Mahulu jadi komplet sebagai kabupaten pariwisata. Bila perbatasan ramai, tentu negara tetangga berpikir ulang untuk mencuri batas wilayah negara. Perekonomian hidup, nasionalisme terjaga. Kaltim jadi kebanggaan Indonesia.
***
MUSEUM Angkut di Batu, Malang, jika diukur jaraknya dari Bandara Juanda, Surabaya, sebenarnya cukup jauh. Bukti bahwa lokasi bukanlah poin utama dari pengembangan potensi pariwisata di sana. Namun, magnetnya yang begitu kuat menarik pengunjung dari berbagai daerah rela merogoh kocek lebih dalam.
Selain Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) yang memiliki kondisi alam asri sebagai nilai jual, titik potensial lain wisata lain di Kaltim yang belum banyak tersentuh pengembangan adalah Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Kecamatan yang menurut literasi historis merupakan asal muasal kerajaan Kutai. Kerajaan pertama di Indonesia.
Nilai historis itu adalah branding kuat bagi Kutai Kartanegara, bahkan Kaltim sekalipun. Jika benar-benar dipoles dan dipromosikan dengan keutuhan nilainya, lokasi ini dapat melengkapi keramaian Museum Mulawarman di Tenggarong, yang lebih dulu tenar dan menjadi wisata unggulan di Kota Raja.
Selain Mahakam Ulu dan Muara Kaman, Kaltim juga masih menyimpan objek wisata dengan karakter khas sekelas hutan Karst di Sangkulirang-Mangkalihat. Mahakarya Tuhan di karst merupakan kekayaan alam hakiki Kaltim yang terakhir. Kecantikan panorama dan suasana segar di sana butuh sentuhan agar menjadi destinasi wisata unggulan Benua Etam.
Tentu selain tiga ide ini, masih banyak potensi wisata yang bisa dikembangkan di Kaltim sebagai ciri khas daerah. Kita tahu, sektor pariwisata selalu menjanjikan multiplier effect yang hebat. Membangun destinasi wisata di pedalaman sama saja melakukan pemerataan pembangunan. Daya tariknya bisa membuka lapangan kerja, menggerakkan perekonomian rakyat, dan menjadi pusat kota baru.
Pembangunan selama ini selalu bertumpuk di tengah kota. Akibatnya warga pinggiran ikut berdesak-desakan ke tengah kota. Kemacetan tak terhindarkan. Dibuat flyover hingga lima lapis sekali pun seakan tak ada habisnya. Kesenjangan sosial antara kota dan desa kian nyata. Kriminalitas meningkat.
Dengan menyeriusi pembangunan wisata di pedalaman, bakal memunculkan pusat kota baru. Traffic aktivitas masyarakat bisa dibagi. Tidak lagi saling menumpuk di satu wilayah. Membangun banyak destinasi wisata di pedalaman menghasilkan pemerataan pembangunan.
Lupakan soal lokasi tengah kota. Selama pemerintah daerah mau membangun infrastruktur jalan dan bandara, investor bakal masuk. Apalagi bila didukung dengan penerbangan langsung menuju tempat wisata.
Sebagai contoh, pemerintah daerah Banyuwangi, Jawa Timur yang meningkatkan kualitas pariwisatanya. Terus berkembang, rute penerbangan langsung ke kabupaten di ujung timur Jatim ini akhirnya dibuka.
Dengan upaya yang sama ulet dan kreatifnya, bukan tak mungkin, tiga daerah di Kaltim tadi bisa memiliki akses yang sama. Tentu bisa semakin mudah menjualnya.
Mengembangkan infrastruktur di pedalaman merupakan merupakan investasi pembangunan. Saat Pemkab Kukar membangun Jembatan Martadipura dan beberapa infrastruktur lainnya, tak sedikit lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengkritik lantaran membangun proyek di daerah yang tak ada orangnya. Tapi justru kebijakan ini merupakan langkah visioner yang dilakukan kepala daerah yang cerdas.
Selanjutnya dibutuhkan investor yang mau bekerja sama dengan pemerintah daerah. Pengusaha yang membangun bisnis di “daerah mati” dan menyulapnya menjadi hidup adalah pengusaha yang cinta Tanah Air, yakni ikut membangun daerah bersama pemerintah. Jasanya bakal dikenang Kaltim selama-lamanya. (***/man/habis/k18)
Artikel ini pernah terbit di koran Kaltim Post. Silakan berlangganan e-Paper Kaltim Post
http://kaltim.prokal.co/read/news/289528-berguru-pada-museum-angkut-1.html
http://kaltim.prokal.co/read/news/289614-berguru-pada-museum-angkut-2-habis