Gedung SMP 1 dan SMA 1 Samarinda, di Jalan Bhayangkara yang kini menjadi Taman Samarendah memiliki nilai sejarah. Meski sekolah yang melahirkan pejabat besar di Kaltim itu dibangun kembali di Jalan Anang Hasyim, kekecewaan terhadap proyek tersebut tak dapat disembunyikan.
Rizki Hadid, Samarinda
DESIR udara sejuk di pagi hari membelai wajah Asli Amin. Pelajar SMA 1 Samarinda itu mengayuh sepeda dari kediamannya di Karang Asam ke Jalan Bhayangkara dengan riang. Jauhnya perjalanan tak terasa dibandingkan dengan semangat menimba ilmu di sekolah tingkat akhir satu-satunya di Kota Tepian itu.
Jalan setapak tanpa aspal digilas ban sepedanya kala memasuki Jalan Bhayangkara. Wilayah itu tenteram. Pepohonan rindang tumbuh subur di kiri dan kanan jalan. Puluhan sepeda tersusun rapi di area sekolah yang berdampingan dengan SMP 1 Samarinda. Gedung sekolah itu berdinding beton dengan separuh kerikil di bagian bawahnya. Ada dinding kayu yang memisahkan antarkelas. Lantainya dari keramik. Di SMA 1, dulunya hanya ada sembilan kelas.
Tiap tingkatan dibagi tiga kelas. Yakni, A, B, dan C. Kelas A untuk jurusan sastra, kelas B untuk IPA, dan kelas C untuk IPS. Dalam satu kelas ada 30 siswa. Lapangan Pemuda yang terdiri dari lapangan sepak bola dan basket kala itu belum ada. Masih berisi pepohonan yang rimbun.
Asli merupakan alumnus SMA 1 yang lulus pada 1960. Mantan kepala Bappeda Kaltim itu merupakan angkatan ketiga ketika sekolah tersebut pertama kali dibuka. Sekolah paling tinggi satu-satunya di Kaltim kala itu dibidik masyarakat di luar Samarinda. Seperti Tarakan, Balikpapan, dan Bontang. Termasuk dirinya yang berasal dari Long Iram.
Lelaki yang dulu menjabat ketua OSIS (organisasi siswa intra sekolah) tersebut hobi bermain voli dan basket di lapangan yang berada di tengah sekolah. Ia kerap bermain dengan kakak kelasnya, Muhammad Ardans, mantan gubernur Kaltim yang lulus pada 1958. “Saking akrabnya, saya memanggil Pak Ardans itu dengan aku-kamu saja, bukan panggil kakak. Padahal Pak Ardans kelas tiga, saya kelas satu,” kenang Asli.
Jalan Awang Long dulu bernama Jalan Melati. Di sana ada asrama bagi pelajar asal luar kota. “Sewaktu angkatan Pak Ardans, guru di SMA 1 itu ada yang berkebangsaan Belanda,” ungkap bapak 76 tahun itu.
Kenangan tentang SMA 1 dan SMP 1 sirna sudah. Bangunan yang menjadi saksi lahirnya pembesar Kaltim itu luluh lantak dihajar alat berat. Rata dengan tanah, lalu disulap menjadi Taman Samarendah. Taman pertama di Kota Tepian yang dibangun di tengah jalan.
Dari lubuk hati terdalam, Asli selaku alumnus mengaku kecewa dengan proyek Pemkot Samarinda tersebut. Ia mengira mau dijadikan museum. Lalu, di sampingnya ada taman baca. Malah membuntukan simpang empat jalan dan memberangus gedung sekolah bersejarah. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ia hanya berharap ada miniatur dua sekolah bersejarah itu beserta foto-foto kenangan tempo dulu. “Kami pikir gedung yang berusia lebih dari 50 tahun mestinya dilindungi karena memiliki nilai historis,” jelas lelaki yang hobi berlibur itu.Ellie Hasan, salah seorang penggiat sejarah di Samarinda menjelaskan, di lokasi tersebut dulu berdiri Middelbare School, yakni sekolah menengah lanjutan dengan bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Kemudian, sekolah itu menjadi sekolah menengah lanjutan atas yang dikelola Yayasan Dharma Bakti, berdiri pada 14 September 1953 dengan status awal sebagai SMA partikelir atau swasta. Kemudian, pada 11 Juni 1955 sekolah itu menjadi SMA negeri dengan surat nomor 30/JSP/55.
“Diresmikan oleh Residen Koordinator Kalimantan Timur Datu Maju Urang, disaksikan Wakil Pemerintah Daerah Istimewa Kutai, Aji Pangeran Tumenggung Pranoto. Salah satu syarat untuk Kaltim menjadi provinsi adalah harus memiliki sekolah menengah lanjutan atas,” jelas dia. (*/hdd/er/k9)
Berita ini pernah terbit di Kaltim Post. Silakan berlangganan Kaltim Post.
http://kaltim.prokal.co/read/news/252378-saksi-lahirnya-pembesar-kaltim.html